Jumat, 30 Desember 2011

tick-tock



I’m writing this in a state of shock,
Watching the clock—tick tock, tick tock,
Advancing, approaching, relentlessly,
A brand new year; Oh, can it be?
The calendar says the same thing, too;
Time races, vanishes for me; Boo hoo!
No, wait! If time flies, I’m having fun!
A year of fun! It’s gone! It’s done!
I now embrace the blur of time,
Because it simply means that I’m
Too busy with pleasure, joy, delight
To mourn the passing days’ swift flight.
So I’m wishing you fast, happy days,
Pleasuring you in myriad ways,
Filled with happiness and cheer,
Oh Happy, Happy Bright New Year!
By Joanna Fuchs

Sabtu, 03 Desember 2011

Ibu Pertiwi Tersenyum

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbagi dalam 33 provinsi. Ibukota Indonesia adalah Jakarta, suatu kota yang terletak di Pulau Jawa. Bisa kita lihat bahwa jarak antara kota yang satu dan kota lain yang berbeda pulau tidaklah mudah untuk ditempuh. Mungkin perbedaan jarak dan sulitnya menjangkau kota yang satu dengan yang lain, memberi banyak pengaruh terhadap berbagai aspek, termasuk aspek pendidikan Indonesia. Ketika kita berbicara tentang pendidikan Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang mengatakan bahwa kita termasuk negara yang tertinggal dalam hal pendidikan. Apakah itu benar?

Dahulu kala, ketika Belanda menjajah Indonesia, di negara kita didirikan berbagai jenis sekolah, seperti ELS (Eurospeesch Lagere School), Sekolah Bumi Putera, Sekolah Desa, dan HBS (Hogere Burger School). Waktupun terus berputar hingga akhirnya Indonesia dapat meraih kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Kemerdekaan membawa perubahan dalam berbagai aspek, sistem pendidikan di Indonesia juga turut berubah.
Beberapa tahun yang lalu, di Indonesia terdapat berbagai jenis sekolah, seperti SMEA (Sekolah Menengah Tingkat Atas), SPG (Sekolah Pendidikan Guru), dan STM. Sekolah-sekolah tersebut merupakan bentuk sekolah vokasi. Namun, tidak lama kemudian terjadi penyederhanaan sehingga hanya terdapat SMA dan SMK. Seiring berjalannya waktu, nama SMK seolah-olah menjadi lenyap dan kurang diminati oleh banyak masyarakat. Akibatnya, di daerah-daerah banyak berlangsung pembangunan SMA, SMK sudah sangat jarang terdengar.
Lalu bagaimana dengan sistem pendidikan Indonesia saat ini? Apakah pemerintah sudah mampu memberikan yang terbaik untuk rakyatnya?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita lihat pendidikan di Amerika, di negara maju tersebut terdapat kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), metode mengajar yag berpusat pada siswa (student centered teaching method), pengajaran atas dasar kemampuan dan minat individu (individualized instruction), dan sekolah alternatif.
Lalu, bagaimana dengan negara maju lainnya seperti Cina? Cina membagi pendidikannya ke dalam empat sektor, yaitu basic education, technical and vocational education, higher education, dan adult education. Bahkan, pemerintahnya juga menyediakan pendidikan prasekolah yang materinya meliputi permainan, kegiatan kelas , olah raga, aktivitas sehari-hari serta pekerjaan fisik.
Kemudian, bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah perlu merasa “iri” dengan segala kemajuan pendidikan di negara lain?

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum pendidikan yang berkembang di Indonesia. Kalau kita tinjau dari konsep pengadaan kurikulum tersebut, kurikulum kita tidak kalah dengan kurikulum yang diterapkan di negara-negara maju lain, seperti Amerika. Akan tetapi, yang terjadi di negara kita adalah sangat sulit untuk menerapkan seperti apa yang telah dikonsepkan. Dalam penerapan kurikulum tersebut, banyak terjadi ketidaksesuaian. Mungkin pemerintah sering mengadakan studi banding terhadap pendidikan di negara lain. Akan tetapi, pemerintah juga harus melakukan studi banding di dalam negeri. Pemerintah dapat melihat langsung kondisi dan kemampuan masyarakat sehingga pemerintah dapat menerapkan suatu kurikulum yang asli Indonesia yang benar-benar sesuai untuk digunakan di Indonesia sehingga dapat menjawab keinginan bangsa Indonesia akan pendidikan.
Penerapan yang tidak sesuai dengan konsep juga terjadi pada pengadaan sekolah gratis. Padahal, apabila subsidi dan pengadaan sekolah gratis bisa berjalan sebagaimana mestinya, pasti rakyat Indonesia yang tidak mempunyai biaya pendidikan bisa mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak, seperti yang telah diatur dalam UUD 1945.
Lalu, Mengapa pendidikan di negara kita sangat jauh dari kata “baik” (menurut hasil survey penulis terhadap beberapa teman-teman penulis) ?

Apakah persoalan sarana prasarana pendidikan yang tidak memadai merupakan suatu masalah untuk pendidikan Indonesia? Banyak masyarakat yang mengatakan bahwa pemerintah sangat tidak adil terhadap pendistribusian segala hal di bidang pendidikan, sebut saja penyebaran tidak merata. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai untuk menunjang berlangsungnya sistem pendidikan. Namun, terdapat juga sekolah yang fasilitasnya sudah memadai, tetapi sekolah tersebut tidak dapat memaksimalisasikan fungsi dari fasilitas penunjuang pendidikan tersebut.
Bagaimana dengan kondisi guru di Indonesia? Beberapa tahun ini, setiap tahun di negara kita selalu diadakan ujian nasional. Apa permasalahannya? Menurut survey, banyak oknum pendidikan yang seolah-olah menjadi contoh untuk memperburuk moral bangsa. Hal tersebut terjadi karena banyaknya oknum pendidikan terutama guru yang bersifat komersial. Banyak sekolah-sekolah yang menghalalkan banyak cara (termasuk yang negatif) hanya untuk meningkatkan grade sekolahnya.
Apakah yang harus dilakukan pemerintah? Kenyataannya, hal yang paling sulit dilakukan adalah mengubah moral atau perilaku seseorang. Mungkin, yang dapat dilakukan pemerintah adalah menerapkan sanksi tegas untuk setiap pendidik yang melakukan tindak kecurangan. Pemerintah juga harus menerapkan standar yang tinggi untuk seorang pendidik. Misalnya, seorang pendidik diwajibkan memiliki gelar minimal S-1. Bahkan, pemerintah bisa mengadakan ujian tertulis dan praktek mengajar untuk setiap calon guru agar mendapat sertifikat. Saya rasa hal tersebut sudah berlangsung di negara kita, tetapi pelaksanaannya kurang maksimal. Masih terdapat “kebocoran-kebocoran”.
Banyak mahasiswa yang berpendapat bahwa mereka menginginkan pendidikan yang terfokus. Kami belajar untuk hidup, untuk masa depan, bukan hanya untuk saat ini. Kami semua para pelajar dan mahasiswa membutuhkan seorang pendidik, bukan pengajar. Karena kenyataannya yang ada saat ini hanyalah oknum pengajar, bukan pendidik. Pendidikan seharusnya tidak menuntut kami untuk selalu menerapkan Study Oriented. Sebab, pada kenyataannya yang dibutuhkan di dunia kerja, di dunia nyata adalah sebuah penerapan (praktek).
Seperti perkataan seorang teman saya, Gabriel Evod, “Belajar itu gak semua kita dapet dari guru, dites, dapet NILAI, terus dapet rangking, terus dibilang jadi yang terbaik. Semua ga guna kalo terpaksa, karena akar dari belajar itu adalah kesenangan. Kita ga bisa memilih sesuatu yang kita gak suka untuk kita pelajari.”
Lalu bagaimana supaya belajar itu bisa menyenangkan? Semuanya akan menyenangkan apabila kita melakukan sesuatu sesuai dengan minat kita. Bagaimana supaya masyarakat sasaran pendidikan bisa lebih terfokus dalam menempuh pendidikannya?

Apakah pemerintah harus berusaha mengembangkan sekolah vokasi, seperti SMK? Kesalahannya adalah ketika kita mengganggap SMK tidak lagi berarti dan SMA semakin populer. SMK dan SMA harus sama-sama dikembangkan, sebab itu merupakan pilihan. Mengapa banyak yang tidak berminat ke SMK? Ini semua sebagian besar mungkin karena masalah gengsi dan alur kehidupan. Kondisi SMK yang tidak lagi dikembangkan dan minimnya jumlah SMK, membuat SMK seolah-olah menjadi tidak begitu bermakna. Banyak orang yang memiliki gengsi tinggi, hal tersebut membuatnya lebih memilih SMA, mengapa demikian? Apakah duduk di bangku SMK merupakan hal yang menimbulkan rasa malu? Pemerintah perlu melakukan pembenahan untuk pengembangan SMK supaya masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan yang langsung sesuai dengan bidangnya bisa mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya.
Dilain sisi, di bangku sekolah, seperti SMA terlalu banyak pelajaran yang harus dipelajari, padahal pelajaran tersebut bisa diminimalisasi dan menjadikan beberapa pelajaran menjadi kategori pelengkap atau pilihan (tidak memaksa) sehingga pelajar atau mahasiswa akan menjadi lebih fokus dalam menempuh pendidikannya.
Namun, masalah pendidikan Indonesia juga disebabkan oleh sasaran pendidikan (yaitu pelajar atau mahasiswa). Banyak di antara mereka yang cenderung tidak suka belajar, mereka asik dengan dunianya sendiri sehingga menganggap pendidikan tidak penting. Di sini lah peran orang tua dan lingkungan terdekat sangat diperlukan. Dengan kolaborasi, kerja sama, dan semangat semua komponen penduduk Indonesia, saya yakin kita bisa membawa pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.
Intinya semua perubahan butuh proses dan proses yang harus ditempuh tidaklah mudah. Akan tetapi, bukan berarti tidak mungkin. Pemerintah bisa berusaha sedikit demi sedikit untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Ayo, kita buat ibu pertiwi tersenyum dengan memajukan pendidikan !

Pendidikan Karakter

JAKARTA, KOMPAS.com — Perlu tidaknya pendidikan karakter diberikan kepada peserta didik masih menjadi pro kontra. Pemerhati pendidikan, Prof Winarno Surakhmad, mengatakan, bangsa Indonesia sudah berkarakter sejak dahulu kala ketika dijajah Belanda. Hal itu disampaikannya di hadapan guru-guru Pendidikan Kewarganegaan (PKn) se-Jakarta, Kamis (28/7/2011).
"Karakter bangsa kita ini sangat disukai oleh penjajah, sifat nerimo, sangat penurut, sangat penyabar, ramah tamah sehingga terkesan aman untuk dijajah," kata Winarno, di Aula Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Menurutnya, perlu dilakukan redefinisi terhadap pemahaman karakter bangsa Indonesia. Hal ini, katanya, seharusnya dipikirkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan karakter, tegas Winarno, sejatinya disadari oleh setiap warga negara.
"Ungkapan tomorrow will be better than today seharusnya menjadi pegangan bagi seluruh warga negara," ujar dia.
Winarno melanjutkan, ketika semua orang sudah berorientasi masa depan, maka masa lalu akan dijadikan pelajaran. "Karena karakter itu membentuk harapan untuk masa depan. Dunia telah berubah dengan sangat cepat. Maka, pendidikan karakter yang dipermasalahkan sekarang harus sepenuhnya memperhitungkan perubahan dunia pada umumnya dan perubahan Indonesia pada umumnya," papar dia.  

Winarno menambahkan, kurikulum khusus untuk pendidikan karakter sebenarnya tidak diperlukan. Namun, jika dimasukkan dalam pembelajaran, hendaknya tidak hanya menitikberatkan pada budi pekerti.
"Bagaimanapun bunyi dan bentuknya, yang paling penting untuk Indonesia saat ini adalah karakter bangsa yang menghidupkan harapan yang realistik untuk sebuah masa depan yang manusiawi," kataWinarno

SBI, Sekolah Bertaraf atau Bertarif Internasional ?

Sekolah mahal yang hanya dapat dinikmati oleh siswa yang terlahir dari keluarga kaya. Ini pula yang menjadi salah satu temuan atau hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas, di mana sekolah RSBI seolah-olah bebas menentukan besaran SPP, mulai Rp400 ribu hingga Rp20 juta. Sebab, dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RPS/RKS dan RKAS.
Temuan di atas membuat Kemendiknas menangguhkan kemunculan baru RSBI di tahun ini. Padahal SBI merupakan amanah dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada pasal 50 ayat (3) disebutkan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
SBI atau sekolah bertaraf internasional yang diinginkan adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development) atau negara maju lainnya. Dengan model sekolah ini, diharapkan out put yang dihasilkan memiliki kompetensi yang setara dengan lulusan pada sekolah terakreditasi di negara maju dan mereka mampu berkompetisi dengan tetap menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional.
Namun dalam pelaksanaannya, SBI mengundang pro-kontra. Ada yang berpendapat SBI hanya mementingkan kognitif sehingga corak pendidikan yang dikembangkan bersifat materialistik. Ada pula yang menilai SBI hanya menciptakan kastanisasi pendidikan; dengan adanya pengelompokan antara siswa cerdas dengan kurang cerdas, antara si kaya dengan si miskin.
Ironisnya lagi, RSBI yang dikembangkan secara bertahap tersebut masih terdapat siswa pada kelas reguler (kelas biasa non-RSBI), sedangkan kelas lainnya kelas RSBI. Tentu kelas reguler tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan kelas RSBI, terutama dari fasilitas kelasnya. Bahkan Prof. Sutjipto, dosen UNJ beberapa waktu lalu pernah menemukakan ada salah satu RSBI yang melarang siswa kelas reguler memakai toilet siswa kelas RSBI. Sangat memprihatinkan memang.
Sikap kritis terhadap RSBI patut diterima secara positif. Meskipun Puslitjak Balitbang Kemendiknas menemukan sejumlah rapor merah RSBI, sebagaimana yang dimuat Padang Ekspres, (15/3), akan tetapi temuan itu tidaklah mewakili seluruh RSBI yang ada. Hanya saja pemerintah dan masyarakat mesti kritis dan mengevaluasi eksistensi dan peran RSBI.
Hemat penulis, banyak hal yang patut didiskusikan dalam pelaksanaan dan pengembangan SBI. SBI sejatinya dilaksanakan secara terencana dan disiapkan secara matang (by disign), tidak saja fasilitas, tetapi yang terpenting adalah kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan yang mengelolanya. Idealnya, guru yang mengajar di RSBI memiliki kompetensi sebagaimana diatur dalam Permendiknas Nomor 78 tahun 2009. Kenyataannya, mereka tidak pernah disiapkan sejak di bangku kuliah akan menjadi guru SBI.
Kondisi ini menyebabkan sekolah melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan kompetensi guru agar sesuai dengan standar yang diinginkan. Akibatnya, guru tidak lagi berkonsentrasi untuk mendidik peserta didik, karena ia mesti berjuang untuk memenuhi kompetensinya sebagai guru SBI. Tidak menutup kemungkinan, pikiran guru justru lebih besar untuk peningkatan kompetensi dirinya secara pribadi dari pada peningkatan kompetensi peserta didiknya. Orientasinya tidak lagi pada siswa melainkan pada diri sendiri.
Mengatasi persoalan ini, ada dua pilihan yang patut dilakukan. Pilihan pertama, dirikan sekolah baru yang berlabel RSBI atau SBI dengan pengelola atau tenaga pendidik dan kependidikan yang telah memenuhi syarat SBI itu sendiri. Pilihan kedua, sekolah biasa dijadikan SBI, tetapi dilakukan seleksi ketat, objektif dan transparan kepada tenaga pendidik dan kependidikan yang ada di sekolah tersebut. Bagi guru yang tidak memenuhi syarat segera difungsikan pada sekolah non-RSBI, sementara yang lulus syarat ditetapkan dengan tetap mendapat pembinaan.
Jika sekolah yang dianggap lebih berprestasi di daerah tertentu ditetapkan menjadi RSBI, sementara guru yang ada belum memenuhi persyaratan sesungguhnya, tetapi tetap juga dijadikan RSBI dengan alasan guru tersebut akan dibina secara berkelanjutan, maka wajar dalam lima tahun RSBI tidak juga berubah menjadi SBI. Sebab, guru yang berkemampuan biasa akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kompetensinya sesuai tuntutan SBI. Agaknya inilah yang menyebabkan sekitar 60 persen guru memiliki kemampuan bahasa Inggris kualifikasi menengah ke bawah.
Paradigma SBI sebagai sekolah bertarif mahal mesti segera diubah. Dalam Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 pada pasal 16 ayat (2) disebutkan bahwa SBI wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh peserta didik. Aturan ini jelas memberi peluang bagi siswi miskin mengenyam pendidikan di SBI. Apalagi dalam aturan ini disebut minimal, bukan maksimal. Lagi-lagi kenyataannya masih ditemukan RSBI yang tidak memenuhi aturan ini.
Sebaiknya, kebebasan yang diberikan kepada RSBI memungut sejumlah uang kepada siswa ditiadakan. Meskipun sekolah tidak tersebut membutuhkan dana besar, sebaiknya ditanggulangi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Jika tetap dibebankan kepada orang tua siswa, lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah lain? Bukankah sekolah lain juga ingin menjadi RSBI? Jika seluruh atau kebanyakan sekolah menjadi RSBI, maka setiap sekolah tersebut kembali menjadi sekolah masa lalu yang memungut SPP kepada orang tua.
Kemudian, perlu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dengan emosional dan spiritual peserta didik. Jika dilihat dari program RSBI, lebih menekankan pada aspek kognitif. Apalagi input yang masuk di RSBI, pada umumnya memiliki tingkat IQ 120. RSBI selalu bangga memajang prestasi di bidang kognitif, seperti hasil olimpiade. Kondisi ini diperkuat pula dengan adanya kerjasa sama dengan sekolah anggota OECD di negara-negara maju. Padahal banyak pakar pendidikan, khususnya pendidikan Islam, mengkritik epistemologi keilmuan Barat yang bercorak materialistik, dikotomik, dan hedonis.
Oleh karena itu, RSBI mesti menetapkan dan mengembangkan program peningkatan kecerdasan emosional, spiritual, dan religius serta tetap bangga pada budaya lokal. Jika tidak, mereka laksana robot dan kehilangan hakikat kemanusiaanya sebagai makhluk berdimensi rohaniyah di samping dimensi jasadiyah. Bila ini terjadi, maka out put SBI akan membahayakan, sebab seseorang yang “pintar” tanpa iman jauh lebih besar menimbulkan kerusakan dari pada seseorang yang “bodoh” tapi beriman.
Masih banyak hal yang patut didiskusikan dari penyelenggaraan SBI. Namun, keberadaannya tetap dibutuhkan dalam mencerdaskan anak bangsa yang memiliki potensi lebih. Hanya saja, butuh kajian dan pertimbangan lebih matang sehingga SBI bukan sekedar nama, tetapi berkualitas; bukan bertarif, tetapi bertaraf internasional. Wallahu a’lam. (*)